POLEWALI MANDAR, KOMPAS.com — Musik pompang atau yang akrab dikenal masyarakat Mamasa, Sulawesi Barat, sebagai musik bambu ini ternyata bisa lestari di tengah gempuran beragam aliran musik modern, sebut saja aliran musik jazz, pop, blus, dan rock kontemporer atau musik hip hop yang notabene adalah aliran musik dari luar negeri, yang banyak digandrungi anak-anak muda.
Hubungan mutualisme seniman dan masyarakat penikmatnya menjadikan musik khas ini tetap menjadi hiburan rakyat. Yang menarik, musik ini berkembang menjadi sarana hiburan rakyat justru tidak digerakkan oleh tokoh sentral atau figur seniman besar yang biasanya ditokohkan.
Semua seniman merasa tokoh sekaligus penikmat musik pompang. Beragam aliran musik modern, yang gemerlap dan memengaruhi masyarakat dan anak-anak muda, tidak membuat musik pompang yang sudah menjadi musik rakyat Mamasa ini terpinggirkan dan kehilangan penggemar.
Musik pompang bahkan tetap menjadi pilihan hiburan bagi masyarakat. Wajar jika musik bambu ini selalu hadir mewarnai setiap acara pesta kemasyarakatan atau pesta formal pejabat lainnya.
Berbagai kegiatan atau hajatan masyarakat, yang sudah lekat dengan musik bambu, seolah tak afdol rasanya tanpa musik pompang sebagai suguhan hiburan.
Utuk menyambut pejabat ternama atau perayaan ulang tahun kabupaten/musik khas Mamasa ini selalui jadi suguhan hiburan istimewa di tengah hiburan musik lainnya.
Edwin, penikmat dan penggiat musik pompang, tak menapikan adanya aliran musik-musik baru yang tumbuh di masyarakat. Namun, musik pompang tetap menjadi salah satu hiburan yang naris wajib untuk setiap kegiatan apa pun.
"Musik pompang tetap lestari dan tidak kehilangan penggemarnya meski ada beragam musik modern yang muncul" ujar Edwin bangga.
Instrumen musik pompang yang dirakit dari batang bambu dari tangan-tangan terampil pembuatnya mampu menghasilkan irama musik yang merdu dan menyejukkan hati para penikmatnya.
Musik khas Mamasa ini biasanya dimainkan dengan seruling bambu dan rebab yang konon asal-usul alat kesenian rebab tradisonal ini berasal dari arab. Musik pompang sendiri tumbuh secara natural di tengah masyarakat.
Di setiap kecamatan di Mamasa, grup atau kelompok-kelompok musik pompang dengan mudah kita jumpai. Setiap group musik pompang eksis dan membawa warna tersendiri.
Uniknya, musik khas ini tumbuh dan berkembang menjadi sarana hiburan di tengah masyarakat justru tidak didorong atau digerakkan oleh tokoh sentral atau figur seniman besar yang ditokohkan.
Semua seniman merasa tokoh sekaligus penikmat musik pompang. Musik pompang tetap tumbuh di masyarakat menjadi salah satu industri hiburan yang dikelola secara tradisonal oleh kelompok-kelompok seniman.
Imbalan jasa yang cukup menggiurkan menjadi faktor lain yang mendukung para seniman untuk tetap eskis dan percaya diri menekuni musik khas ini.
Mengapa musik pompang bisa lestari di tengah percaturan beragam aliran musik modern? Tiga komponen yang saling memengaruhi, seniman, kesenian itu sendiri, dan masyarakat sebagai penikmat seni menjadi satu komponen yang saling membutuhkan.
Seniman bangga karena karya seni mereka diapresiasi secara luas, sedangkan masyarakat merasa terhibur dan hajatannhya sukses dengan hiburan yang sudah lekat di masyarakat secara turun-temurun ini.
Universalitas musik seperti halnya musik pompang mungkin bisa menjadi lebih luas penikmatnya. Jika para seniman pompang bisa membangun kerja sama dengan beragam aliran musik lain yang notabene juga punya komunitas penggemar. Dengan cara ini, musik pompang bisa tetap eksis dan penggemarnya makin meluas sejalan dengan universalitas musik itu sendiri sebagai hiburan.
Sumber: kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar